Sunday, July 15, 2007

Pekan Raya Jakarta 2007

Pekan Raya Jakarta (PRJ) merupakan ajang expo tahunan di Jakarta telah senantiasa menjadi event yang ditunggu-tunggu bagi sebagian warga Jakarta. Pengunjung PRJ yang setiap tahunnya mencapai jutaan orang tidak terbatas warga Jakarta saja. Namun juga dikunjungi oleh warga dari propinsi-propinsi lain di Indonesia, bahkan dari luar negeri.

PRJ dapat dikatakan sebagai penerus tradisi Pasar Gambir yang diselenggarakan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk merayakan hari ulang tahun Ratu Belanda. Bedanya, PRJ diselenggarakan dalam rangka hari ulang tahun Jakarta.

Tradisi Pasar Gambir ini jelas terlihat pada tersedianya areal Pasar Gambir Expo di area PRJ Kemayoran. Berbeda dengan PRJ abad 20 (sekarang sudah abad 21 kan?) di Monas, PRJ di Kemayoran ini menempati areal yang sangat luas dan tertata dengan baik. Ini ditandai dengan adanya gedung-gedung Pusat Niaga, Hall A, B, C, D, E dan Pasar Gambir Expo. Tentu saja areanya lebih luas dari Monas karena didirikan di bekas landasan airport Kemayoran.

Lahan sangat luas di bekas airport Kemayoran ini telah berkembang menjadi "kota di dalam kota". Penataan wilayah-wilayahnya juga cukup rapih. Hanya saja, meski menjadi area terbuka hijau, kawasan ini sangat panas terutama di musim kemarau.

Saya sendiri belum pernah ke PRJ lagi sejak PRJ dipindahkan ke kawasan Kemayoran. Saya terakhir kali ke PRJ pada tahun 1985 bersama almarhum Budi Widyatmoko, Yuli Purwariningsih, Katri Yunianti dan Lorita (Lolly) Damayanti. Waktu itu masih di semester 2. Sejak PRJ pindah ke Kemayoran, hati saya tidak pernah tergerak untuk datang ke PRJ. Kenapa? Karena dalam gambaran saya saat itu kawasan Kemayoran adalah kawasan yang kurang aman, sulit dijangkau dengan kendaraan umum, dan sejumlah alasan miring lainnya.

Saya hanya ke kawasan Kemayoran pada saat tugas kantor, misalnya saat prospecting, ikut seminar atau melihat pameran mobil. Pameran mobilpun dikunjungi di sela-sela waktu makan siang "yang panjang" (hehehe). Sekilas saat itu saya menilai PRJ mulai dikelola secara profesional oleh perusahaan swasta.

Entah karena apa, di abad ke 21 ini, khususnya di tahun 2007 ini hati saya tergerak untuk mengunjungi PRJ. Sungguh ini suatu keputusan yang tidak dipengaruhi oleh siapapun. Jadilah di akhir Juni lalu saya dan my lovely wife Andra mantap ke PRJ. Namun karena kurang informasi dan masih bersikap waspada pada keamanan kawasan Kemayoran, kami memutuskan ke PRJ naik taxi. Mobil diparkir di Plaza Indonesia.

Ketika memasuki kawasan Kemayoran, terlihat jelas bahwa "kota dalam kota" ini punya master plan yang baik. Pembagian tata ruangnya cukup jelas terbaca dari dalam taxi. Meski belum jadi seluruhnya, tapi boleh juga.

Karena datang pada hari Sabtu, kami membeli tiket masuk dengan tarif week-end sebesar Rp 20.000,-. Tarif tiket week-days Rp 15.000,-. Reasonable price. Bandingkan bila kita masuk area expo di luar negeri. Tarif PRJ terbilang murah sekitar US$ 2 lebih sedikit.

Saya jadi teringat bila ke PRJ dulu sering mengunjungi stan-stan Pemerintah Daerah. Ternyata itu tersedia di Hall B dan C. Namun rasanya stan-stan itu sekarang berubah jadi seperti arena bazaar. Apa benar ya? Saya tidak punya benchmark dengan tahun-tahun lalunya. Dulu dari stan daerah saya jadi tahu bagai mana cara memproduksi cacao, teh, minyak bumi, dan hasil bumi lainnya. Tapi tetap senang mengunjungi stan-stan itu.

Di stan Kabupaten Payakumbuh (Propinsi Sumatera Barat) saya membeli rendang telur dan rendang paru dalam kemasan terkini yang tercatat di Badan POM. Untuk ukuran daerah, kemasannya cukup baik. Jelas info kandungan gizi dan tanggal kadaluwarsanya. Di stan Sumbar lainnya, saya beli kerupuk balado dan dakak-dakak pedas (biasanya rasa gurih saja).

Di stan Kabupaten Lebong (Propinsi Bengkulu) saya membeli kacang sangrai yang ketika dicicip rasanya mirip dengan kacang Rahayu di Bali. Saya langsung beli. Tapi sayang waktu dibuka di rumah, kacang yang saya beli terasa agak gosong. Kurang bisa menjaga standar produk adalah hal yang sering terjadi pada usaha UKM. Ini tantangan semua pihak untuk membantu mengangkat harkat pengusaha-pengusaha UKM di arena pasar global.

Saya juga terpesona dengan isi pameran stan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Stannya biasa-biasa saja tapi produk-produknya beragam. Meski tak paham bahasa Aceh, saya membeli kaset World Music Aceh. Seni musik Aceh sangat terkenal dengan syair-syair indahnya dengan instrumen minimal. Hari-hari belakangan ini saya menyetir mobil sambil menikmati musik itu.

Stan Propinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sumatera Utara, Bengkulu, Kalimantan Timur dan Maluku adalah sebagian dari sejumlah stan-stan daerah yang tampak dikelola dengan sangat baik. Stan Jawa Barat menempati areal yang cukup luas dengan menghimpun sejumlah pengusaha lokal dalam stan-stan lebih kecil. Ada satu stan daerah yang saya cari-cari tapi ternyata tidak berpartisipasi, yaitu Kalimantan Selatan. Saya begitu kangen dengan makanan-makanan serba ikan di kota Banjarmasin. Sayang sekali. Tapi, ya itu tadi. Begitu keluar dari Hall B dan C, saya merasa baru selesai mengunjungi arena bazaar. Ada sesuatu yang hilang dari cara "menyampaikan pesan" dari daerah.

Produk-produk otomotif terlihat sangat menonjol di PRJ. Begitu masuk arena, kita sudah disambut dengan ajakan test drive motor produk India. Motor berbagai merek bertebaran. Demikian juga dengan produk-produk mobil yang dipusatkan di areal Pasar Gambir Expo. Tampak jelas persaingan antara produk-produk mobil Jepang dan Korea di sana. Produk sedan mini Cina ada di pelataran Hall D.

Stan A dan D menghadirkan produk-produk meubel, elektronik, camera digital, handphone, parfum, tas dan koper, alat-alat dapur dan sebagainya. Hall E (tidak kami masuki) dari directory menyajikan aneka multiproduk yang saya "curiga" seperti di ITC Mangga Dua. Produk makanan, minuman, jamu, rokok, susu dan cemilan-cemilan mengambil tempat di tengah-tengah arena. Ada panggung musik besar dan beberapa panggung musik mini di stan-stan produk. Artis-artis ibukota sudah dijadwalkan tampil di panggung utama. Foodcourt tersedia di beberapa lokasi. Kerak telor, kudapan asli Betawi khas PRJ juga bisa dinikmati dengan harga satuan Rp 10.000,-.

Itulah gambaran sekilas PRJ 2007 yang berakhir tanggal 15 Juli 2007. Tadi pagi baca di Kompas, Ketua Panitia PRJ, Hartati Murdaya melaporkan bahwa PRJ 2007 mencatat rekor baru, dikunjungi oleh sekitar 3 juta orang, dengan nilai transaksi meningkat 100% dari tahun 2006, yaitu satu triliun rupiah lebih.

Saya masih merenung-renung, sudah cukupkah membuka potensi negara (yang diwakili oleh PRJ) dengan event PRJ? Suka atau tidak suka, inilah pameran terbesar di Indonesia. Di sisi lain, jadi juga saya ke PRJ di Kemayoran, sampai 4 kali malah. Koq? Ia, setelah kunjungan pertama, eh, para keponakan dalam kelompok berbeda minta diantar ke PRJ. Maklum liburan sekolah. Bukan maruk lho, hehehe......


(Moh. Adjie Hadipriawan, Senin, 16 Juli 2007, pukul 10:45)


Photo : koleksi pribadi