Tuesday, September 09, 2008

Buku


Adalah seorang adik kelas di Fabiona yang ketika terjadi pergantian semester memburu diktat Praktikum Anatomi Hewan milik saya. Sebagai pecinta buku, saya memperlakukan diktat itu dengan sangat baik. Tidak ada satupun lembaran buku yang terlipat seperti kebiasaan sebagian orang sebagai tanda pengingat halaman. Catatan-catatan tanganpun tertulis dengan rapih. Sejujurnya, ini masalah kebiasaan dan apresiasi terhadap milik sendiri. Namun apa yang terjadi saat pergantian semester berikutnya? Adik kelas itu, cowoq berinisial AN, tak kunjung mengembalikan diktat saya. Padahal teman-teman lain sudah menerima pengembalian diktat yang dipinjam adik kelas. Beberapa hari kemudian saya mendapat kabar. Konon si adik kelas memang sudah berniat mengembalikan ke saya. Dia membawa diktat saya. Namun karena tidak bertemu saya, dititipkan ke warung rokok pak Halim. Kenapa dititipkan? Nampaknya repot membawa-bawa barang bukan milik sendiri. Hasilnya sampai detik ini saya menulis, diktat itu tidak pernah sampai ke tangan saya.

Antara tahun 1987 dan 1988, Fakultas Biologi Universitas Nasional punya ensemble group, yaitu sekumpulan pemain gitar klasik. Ada Eka Damayanti (’87), Indah (’86), Adjie (’84), Beebach (’84) dan Chacha (’82). Mereka sempat tampil dalam beberapa acara di kampus Bio. Jadilah kami saling tukar-menukar partitur lagu-lagu klasik. Ada yang dalam bentuk diktat dari sekolah musik, photo copy-an dan buku. Kebetulan saat masih SMP di Bandung saya dihadiahi oleh kakak saya buku pelajaran gitar klasik karangan Mateo Carcassi (1792 – 1853), judulnya ”Complete Method for the Guitar”. Buku ini sangat bagus, bergambar muka lukisan klasik. Edisi luks. Yang paling istimewa karena buku itu adalah hadiah ulang tahun saya.

Tampaknya ada semacam ”euphoria” kecil dengan tampilnya kelompok gitar klasik ini. Beberapa teman lintas angkatan ikut belajar main gitar secara praktis di kampus. Salah satu yang ”serius” ingin bisa main gitar adalah kakak kelas, cowoq berinisial FB. Tidak tanggung-tanggung, dia pinjam buku Mateo Carcassi dan sebuah diktat dari Yayasan Musik Bandung untuk diphoto copy. Melihat gelagat seriusnya, hati saya luluh dan meminjamkan. Eng ing eng. Sejarah berulang. Setelah ditagih berulang-ulang, hingga detik ini saya menulis artikel ini, buku kecintaan saya Mateo Carcassi tidak kembali. Di mana letaknya rasa tanggung jawab dan rasa ikut memelihara barang bukan milik sendiri? Sedihnya tak terkira. Apalagi ada ucapan selamat dari kakak saya di halaman dalam buku itu.....

Saat adik-adik kelas seangkatan my lovely wife, Andra, sedang menulis skripsi, pinjam-meminjam textbook tak terhindarkan. Sebagai salah satu pembimbing bidang studi Planktonologi, saya punya photo copy textbook pengenalan plankton karangan Darling. Buku itu saya pesan di perpustakaan asing terkenal di jalan Jenderal Sudirman Jakarta. Minggu malam, IKH, seorang cowoq adik kelas seangkatan Andra menelepon dengan maksud mau meminjam textbook Darling untuk dikutip dalam skripsinya. Saya berjanji akan memberi dua hari lagi. Maklum buku itu sempat dipinjam adik-adik kelas peserta bidang studi Planktonologi dalam Studi Pengenalan Lapangan (SPL) di Cikepuh. Jadi harus dicari dulu.

Rasanya belum kering kerongkongan saya, tiba-tiba bel rumah berbunyi. Pembantu bilang, ada cowoq agak gemuk bersepeda mencari saya. Ternyata si IKH itu tadi. Memang dia tinggal di Pejaten. Tidak terlalu jauh menempuh perjalanan ke Kalibata dengan sepeda. Lho, tapi bukannya setengah jam tadi saya sudah janjian akan meminjamkan dalam dua hari? Saya kan harus mencari dulu di kotak mana textbook itu di simpan? Dengan sabar si adik kelas menunggu saya selama satu jam untuk akhirnya mendapatkan buku itu. ”Mas Adjie, aku pinjam sebentar aja karena mau di-photo copy bagian-bagian yang penting saja”, janjinya. Sudah bisa menduga hasilnya kan? Sampai diwisuda menjadi sarjana, kerja dan kadang bertemu di resepsi anak Bio ataupun di Mal, tak sedetikpun ia ingat akan janjinya untuk mengembalikan buku yang katanya mau dipinjam sebentar itu. Ditagih? Ah, sudah bosan dilupakan.

Saya yang sangat terpukul karena tahun lalu kehilangan sekitar 400 judul buku dan sekitar 500 majalah hanya bisa menyayangkan. Memang, ada kalanya kita dihadapkan pada situasi membutuhkan bantuan orang lain. Seharusnya ya sadar diri saja. Jadilah orang yang bertanggung jawab. Terlebih lagi di balik momentum penting sejarah hidup mereka, ada peran saya yang mereka lupakan.

Akhirnya saya hanya bisa mengingat pepatah yang sering saya goreskan di buku-buku saya sendiri (tapi tidak pada ketiga buku yang tak jelas nasibnya itu). ”Meminjamkan buku adalah perbuatan orang bodoh. Namun mengembalikan buku pinjaman adalah perbuatan orang gila”. Miliki dan peliharalah buku milik sendiri! Kalau perlu kita bersikap pelit untuk tidak meminjamkan buku, namun bagilah ilmunya.


(Moh. Adjie Hadipriawan, Jakarta, 10 September 2008, pukul 11:34 WIB)
Pics : taken from http://sologuitarist.net/

Monday, September 08, 2008

Kue Lebaran

Setiap kali memasuki bulan suci Ramadhan, saya selalu menemukan dilema di hati. Apa gerangan? Adalah hal yang umum bila di kantor selalu ada semacam bursa kue-kue kering Lebaran. Kue-kue itu dibuat oleh isteri, anggota keluarga atau kenalan karyawan. Tidak hanya satu. Tapi dari beberapa karyawan sekaligus. Masing-masing mengunggulkan kue produksinya dengan harga yang kompetitif. Beli atau tidak beli ya?

Masalah yang saya hadapi bukan ”beli atau tidak beli”. Tapi lebih kepada ”mengapa beli?”. Ini tidak lain karena hobi yang dimiliki my lovely wife, Andra, yaitu memasak dan membuat kue-kue. Cukup relevan kan melihat dilema yang saya hadapi?

Di tahun-tahun awal pernikahan kami saat Andra belum terlalu sering membuat kue, saya pernah mencoba memesan kue-kue kering Lebaran pada salah seorang karyawati kantor lama. Memang, saya sudah pindah kerja namun saya tahu si mbak punya saudara yang kerap membuat kue-kue kering. Namun oleh teman yang lain saya diarahkan ke karyawati yang lain. ”Bikin sendiri ’Djie”, katanya melalui telepon. Gak enak nolak, saya iakan jadinya. Beli terpaksa? Hehehe.... Mau nyoba aja koq.

Jadilah saya memesan dan mengambil sendiri pesanan tersebut. Kue-kuenya cantik di dalam kemasan berhias tema Lebaran. Saat dicicipi di hari Lebaran, lho...., koq anyep? Waduh, siapa pun pasti akan berkomentar yang sama. Dari pada dibilang gagal bikin kue sendiri, mendingan disimpan aja di lemari. Nyesal juga. Tapi ada pelajaran. Jangan pernah menilai sesuatu dari penampilannya. Dan ikuti kata hati. Kan sudah biasa memilih sendiri.

Kembali pada kemampuan Andra membuat kue-kue. Sebagian besar kemampuannya itu diperoleh secara otodidak, alias cuma baca resep dari buku-buku. Andra sangat mengutamakan kualitas. Dia tidak pernah mengorbankan rasa demi memperoleh kuantitas lebih untuk dipasarkan. Andra patuh pada resep. Contoh kecil, Andra tidak pernah membuat kaajstengel yang menggunakan keju kotakan biasa, menambahkan garam bahkan menambahkan penyedap rasa sebagai pengganti rasa keju edam. Andra pasti memakai keju edam berapapun harganya. Tau sendirilah harga-harga semua kebutuhan pasti naik menjelang Lebaran.

Hal lain yang membedakan adalah Andra tidak pernah gembar-gembor apalagi sampai membawa-bawa sample ke kantor. Semua berlangsung secara alamiah dari mulut ke mulut. Tentu karena menggunakan bahan-bahan asli dan pilihan akan berpengaruh pada harga jual. Beragam jenis kue-kue itu Andra jual dengan harga yang sangat jauh di atas harga kue-kue umumnya. Apa ada yang beli? Ada! Tentunya pembeli dari segmen tertentu yang tidak mempedulikan harga namun sangat memperhatikan kualitas kue.

Hal terakhir yang membedakan Andra dengan pembuat kue amatiran lainnya adalah Andra tidak pernah memaksakan diri membuat kue untuk dijual. Andra hanya menerima pesanan. Tidak ada stok kue di rumah yang nantinya ditawar-tawarkan agar laku. Namanya juga cuma hobi. Ada pesanan kue dibuat. Kalaupun membuat tidak berdasarkan pesanan itu semata untuk suguhan di rumah saja. Atau sebagai bingkisan Lebaran untuk orang tua dan mertua.

Meski punya kemampuan membuat kue-kue, Andra lebih senang membuat kue-kue besar dari pada kue-kue kering. Tapi dia tidak pernah menolak pesanan. Jangan sampai menolak rezeki. Semua Andra buat dengan penuh perhatian. Belanja bahan sendiri, mengadon sendiri, memarut dan memasak isian kue, entah itu dari buah nanas, apel ataupun kurma; memanggang dan menyusun ke dalam stoples sendiri. Kadang saat saya terbangun menjelang sahur, Andra baru selesai memanggang kue. Paginya tetap berangkat ke kantor seperti biasa. Saya sih hanya bisa menghabiskan chocolate stick persediaan bahan kue-kue Andra hahaha.....

Lucunya, saya perhatikan pesanan lebih banyak saat Natal dan Tahun Baru dibandingkan Lebaran. Komposisinya bisa 2:1. Percaya saja pada rezeki yang sudah diatur oleh Allah SWT.

Kembali pada dilema di atas tadi. Pagi ini saya sudah menerima sekantung kecil cantik sample aneka kue-kue kering. Beli gak ya? Atau kenapa harus beli? Hehehehe....


(Moh. Adjie Hadipriawan, Selasa, 9 September 2008, pukul 13:19 WIB)