Thursday, July 17, 2008

Mulut berapi, perut bergolak

Kenapa judulnya begitu? Ya. Karena memang ada kaitannya dengan ”mulut” dan ”perut”. Tapi mengapa ”berapi” dan ”bergolak”? Nah itu yang mau diceritakan.

Karena tergolong Pujanda Kesuma (Putera Jawa Sunda Kelahiran Sumatera), ternyata cukup banyak ”identitas” Sumatera yang mewarnai keseharian saya. Ada beberapa contoh. Misalnya, karena sesuatu sebab saya harus berbicara dengan cepat maka logat saya cenderung ”Sumatera”. Dalam ucapan cepat saya menyebut angka ”empat” seolah menyebut kata ”ampak”. ”Sedikit” secara cepat diucapkan sebagai ”sikit”. Itu hanya sebagian contoh.

Dalam hal selera makan, lidah saya cenderung Sumatera. Toleransi yang tinggi terhadap pedas dan rempah. Selain penyuka masakan rumahan ala Jawa dan Sunda, saya juga sangat menyukai hidangan Sumatera dari berbagai propinsi. Gule, kari, asam padeh, cuko pasti suka. Masakan Aceh, Melayu Deli, Padang (Minang), Melayu Riau, Palembang, Bangka Belitung semua saya suka. Sejak lahir yang pertama tertanam dalam memori saya tentang sate ya sate Padang yang pedas itu. Saya tidak pernah menemukan sama sekali Sate Blora, Sate Madura, Sate Ponorogo, Sate Cilacap, Sate Bandeng dan sate-sate dari wilayah Nusantara lainnya di daerah kelahiran saya. Paling variasinya sate kambing saat musim Haji dan kalau beruntung dapat bagian hasil buruan ya sate rusa.

Untuk urusan pedas dan asam wah saya benar-benar suka. Meskipun pada saat masih anak-anak saya sering mencuci daging ”gule cincang” di bawah air keran. Saya tidak terlalu peduli apakah bahan utamanya daging sapi, ayam, kambing atau rusa. Yang penting olahannya khas Sumatera. Kelak di ujung ”tanah leluhur” di pulau Jawa, saya menemukan kemiripan cita rasa asam dan pedas itu dengan rasa asam, manis dan pedasnya masakan Thailand. Untuk hidangan yang terakhir ini pun saya suka.

Dalam beberapa kali kesempatan melawat ke Thailand bersama my lovely wife, Andra, saya sangat bersemangat memakan hidangan Thailand. Tahu sendirilah, selain daging merah dan unggas, menu Thailand sangat menonjol pada favorit saya yaitu seafood dan ikan sungainya. Semua sangat spicy, asam, manis, dan ........pedas! Pada awal-awal kunjungan semua makanan yang boleh saya makan meluncur dengan derasnya melalui tenggorokan menuju lambung. Tak disangka-sangka, si mulut ”berapi” ini keok di bagian lambung. Jadilah saya mengkonsumsi bekal obat sakit perut yang selalu dibawa bila bepergian. Itupun masih dibantu dengan obat-obatan dari teman seperjalanan yang kebetulan seorang dokter senior. Bergolak ya perutnya?

Dulu, ketika pindah dari Lirik, sebuah kota minyak di propinsi Riau ke Bandung untuk melanjutkan SMP, saya melahap sepotong tahu goreng dengan 7 sampai 8 cabe rawit. Saat makan dengan menu biasapun saya suka mengunyah cabe rawit layaknya lalap. Mengerikan? Biasa aja ah (deuuuuhhh...). Memang sih, sekarang kadar pedasnya makin berkurang. Yang masih terus berlangsung adalah melahap sambel seperti menyuap es krim ke mulut. Masakan Manado yang terkenal pedas, masakan Bali, oleh-oleh cabe rawit mungil nan pedas dari Waingapu (Sumba), itik lado hijau (Minang), sambel pecel Lele di Malang, sambel dadak khas Priangan dan Mie Aceh, aaaah, masih bisalah. Makan sepotong mendoan pake 4 hingga 5 rawit masih OK koq.

Namun beberapa tahun belakangan pertahanan lambung saya mulai berkurang. Terjadi pemberontakan di dalam sana. Ibaratnya, ”sekali makan pedes, tau rasa lambung loe”. Dan itu semua proven. Benar-benar terjadi. Setiap kali habis makan siang dengan lauk ikan tude dan sambalnya (saya juluki ”sambal gledek!”), maka sekitar jam empat sore perut mulai memanas. Siap-siap saja ngendon di toilet kantor, secara perjalanan pulang membutuhkan waktu 1.5 sampai 2 jam. Dan pemberontakan itu terus berlanjut hingga esok hari atau bahkan lusanya. Mengatasinya? Tinggal nyeberang rumah ke dokter umum langganan keluarga sebelum berangkat ke kantor. Sampai-sampai saya hapal akan makan obat-obatan apa saja dari sang dokter. Dan dokternya pun hapal dengan sebab-musabab "penderitaan" saya. Lama-kelamaan dokter menyarankan saya memeriksakan diri ke laboratorium klinik. Beliau merasa perlu melihat musabab lainnya. Yang ini gak usah diceritain ya, hehehe.....

My lovely wife, Andra kerap mengingatkan bila melihat saya makan cabe dan sambal berlebihan. Mungkin di matanya mulut saya berapi seperti naga. Sayang shio saya ular bukan naga hahaha...... Tapi dia hapal, setelah makan pedas-pedas saya pasti mengeluh sakit perut dan kembung satu sampai 3 hari. Lama-kelamaan Andra tidak mau mengingatkan lagi. Andra, yang pernah bermukim di Manado nan tersohor akan menu pedasnya saat kecil, berubah menjadi seseorang yang pertama kali meledek ”Rasaiiiiin. Sudah tau lambungnya sekarang begitu.......”. Hiks.

Untuk urusan pedas-pedas begitu, sebenarnya saya masih kalah dari seorang kenalan baik yang sudah saya anggap seperti kakak sendiri. Kalau pesan mie instan rebus untuk sarapan, si mbak ini selalu memborong cabe rawit si penjual. ”Gue bayar rawitnya”, ujarnya setiap kali si pedagang mengkhawatirkan stok cabe rawitnya pagi itu. Jadilah di mangkuk itu terhidang ”Cabe Rawit Kuah pake Mie Instan”. Yang lebih norak, dalam sejumlah kesempatan makan di Japanese Restaurant, dia ”memaksa” pelayannya untuk membeli satu ons cabe rawit di supermarket terdekat.

Jadi begitulah kisahnya kenapa saya memberi judul tulisan ini ”Mulut Berapi, Perut Bergolak”. Sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya jatuh juga. Sekuat-kuatnya mulut saya melahap yang pedas-pedas akhirnya perut juga yang memberi tanda. ”Kau sudah tak kuat pedas lagi”. Titik!

(Moh. Adjie Hadipriawan, Kamis, 17 Juli 2008, pukul 20:20 WIB)
Pic. : Wikipedia The Free Encyclopedia

0 Comments:

Post a Comment

<< Home