Wednesday, April 18, 2007

Kereta Api Jabodetabek

Pertama kali naik moda angkutan ini pada saat ikut praktikum Sistematika Tumbuhan tingkat Tinggi (STT) tiap Sabtu pagi di Kebon Raya Bogor (KRB) di pertengahan tahun 1980an. Meski tinggal di Kalibata, saya biasa naik KA dari stasiun Pasar Minggu, bukan stasiun Kalibata. Senang saja, karena stasiun Pasar Minggu terbilang ramai. Di kiri-kanan pintu masuknya ada dua ibu-ibu jualan ketupat sayur. Menu dan asesorisnya sama persis, tapi yang paling ramai dikunjungi ibu yang di kanan pintu. Jadi lumayan, sambil nunggu teman-teman yang akan berangkat bareng ke Bogor juga bisa sekalian sarapan ketupat sayur.

Saat itu KA ini tempat duduknya sebagian masih berhadap-hadapan lengkap dengan meja kecil, seperti KA ekonomi jarak jauh. Pintunya pun masih bisa buka-tutup secara otomatis. Namun saat itu mulai ada sejumlah penumpang yang mengganjal pintu dengan kerikil. Jadi pintu tetap terbuka dan mereka dengan santainya duduk menghadap keluar gerbong. Biar isis, dapat ACC (Angin Cuma-Cuma)....

Isi gerbong tidak jauh berbeda dengan sekarang. Ya penumpang, keranjang buah-buahan, ayam, dagangan, sepeda, tumplek jadi satu. Yang ngemplang tiket alias gak bayar juga banyak. Bedanya dengan sekarang, per 1 April 2007, sudah dilakukan penertiban oleh petugas-petugas berbaju safari gelap, saat masuk dan keluar area penumpang. Kondekturnya pun lebih "mengejar" saat memeriksa tiket. Syukurlah. Dulu hingga Maret 2007, penumpang nakal cukup bilang "abu (abonemen)" tanpa menunjukkan tiket abo, atau menyelipkan uang seribu perak, atau pura-pura tidur, atau menertawakan kondektur rame-rame, atau nekat pindah-pindah posisi berdiri bahkan pindah gerbong demi menghindari kondektur. Pengawasan penumpang dan tiket yang lebih ketat ini sebagai konsekuensi diterapkannya UU Perkeretaapian. Kelak swasta boleh masuk bisnis KA yang mendorong iklim usaha lebih kompetitif karena meniadakan monopoli.

Kabarnya penertiban ini menghasilkan beberapa hal positif. Pertama, diketahui ada sekitar 26.000 penumpang tidak membayar tiket setiap harinya. Kedua, dengan adanya penertiban tiket, pendapatan PT. Kereta Api di Jabodetabek meningkat sekitar 14%. Ketiga, penumpang mau tidak mau harus membeli tiket, dan pada saat keluar dari stasiun harus menyerahkan tiketnya ke petugas. Semoga penertiban ini berlangsung secara konsisten demi terwujudnya perbaikan.

Hingga kini saya masih suka menumpang KA untuk beberapa alasan. Di musim hujan, guna menghindari banjir dan macet saya lebih senang berangkat dari stasiun Depok Baru naik KA Depok Express, turun di Gambir atau Gondangdia. Nyaman, berpenyejuk udara, tidak padat, non-stop dan cuma 25 - 30 menit sudah sampai Jakarta. Bandingkan kalau nyetir mobil sendiri, termasuk antar my lovely wife Andra ke kantornya, bisa 2 - 2.5 jam!

Pulangnya kalau lagi tidak bawa mobil, saya naik KRL ekonomi dari stasiun Manggarai. Di Manggarai ada sejumlah "kereta balik" yang memberi peluang besar untuk dapat tempat duduk. Manggarai ke Depok cuma 30 menit. Kalaupun tidak kebagian duduk, berhimpit-himpitan dan keringatan tidak masalah. Kan ini rute pulang. Sampai rumah langsung mandi dan cuci baju. Yang penting kesegaran tubuh, aroma tubuh dan kerapihan busana saat berangkat kerja harus terjaga.

Uniknya di perjalanan dari Manggarai ke Depok ini kadang saya ketemu dengan alumni Fabiona. Ada yang saya kenal baik orangnya, tapi ada juga yang cuma saya tahu orangnya tapi lupa namanya (sorry). Bisa disebut beberapa di antaranya, Joseph (Bio '84) atau Aphing (Bio '83). Jadi seperti waktu masih kuliah saja.

Kadang untuk ke rumah orang tua di Kalibata hari Sabtu, kesiangan sedikit saja jalan-jalan mulai dari Margonda Raya, Lenteng Agung dan Pasar Minggu padat merayap. Kalau sudah begitu saya putuskan untuk naik KRL ke stasiun Pasar Minggu Baru. Stasiun yang dibuat tahun 1996 ini berada tepat di depan kompleks rumah kami di Kalibata Indah. Hanya butuh waktu 15-20 menit dan jalan kaki ke rumah. Praktis kan?

Saya dan isteri senang jalan-jalan ke kawasan Kota dan Mangga Dua. Tidak harus belanja, tapi berkunjung ke museum-museum di "Oud Batavia", makan di cafe-cafe di kawasan tua itu, atau sekedar cari "inspirasi" di Mangga Dua. Di foodcourt Mangga Dua Mall kami punya langganan lontong sayur Medan yang rasanya dahsyat (hehehe). Pemiliknya (saya panggil Oom) kaget begitu tahu kami dari Depok. "Jauh banget? Ke cabang di Auto Mall Semanggi aja". Dia tidak tahu, kami jauh-jauh datang cukup naik KA kurang dari satu jam. Bawa mobil? No way! Macet dan sulit parkir.

Begitulah, meski sudah lulus kuliah belasan tahun yang lalu, ternyata saya masih tetap menikmati perjalanan naik KA / KRL Jabodetabek. Seringkali di tengah kemacetan lalu-lintas saya bertanya-tanya dalam hati. Kapan ya Jakarta punya moda transportasi massal yang efisien? Pasti ini juga pertanyaan jutaan orang Jakarta lainnya. Jakarta koq jauh tertinggal ya dari kota-kota negara tetangga, sesama Asia pula! Bayangkan MRT di Singapore, Monorail di KL, Skytrain dan subway di Bangkok, MTR di Hongkong atau KA di Tokyo. Berapa banyak penumpang yang bisa diangkut setiap jamnya dengan kenyamanan yang baik? Rencana subway Jakarta dari zaman pak Harto sampai sekarang belum berwujud. Triple decker? Monorail baru menyisakan pondasi-pondasi beton. Susah ya membangun infrastruktur di Jakarta (apalagi di bagian lain di Indonesia)? Ya sudahlah. Nikmati aja dulu KA / KRL Jabodetabek. Paling tidak moda transportasi ini bisa jadi dewa penyelamat saya di kala menghindari macet dan banjir.

(Moh. Adjie Hadipriawan, Kamis, 19 April 2007, 17:20 WIB)

Photo: taken from BUMN Online

1 Comments:

Blogger bscc-jakarta.blogspot.com said...

Utk, Adjie,
Pengalaman dan cara berfikir Anda baik dan praktis serta ekonomis, memanfaatkan KA sbg. alat transportasi alternatif, ini sering juga saya lakukan dari Bekasi ke Gambir atau Kota, apalagi sekarang sdh ada KA Bekek (Bekasi Ekspres AC), dgn. uang relatif sedikit dan menghemat waktu bila dibanding kita bawa mobil sendiri atau naik Bis Patas AC.

Salam,
Bahang, 1751 van Bio
fabionagroup@yahoogroups.com

5:17 PM  

Post a Comment

<< Home