Wednesday, October 18, 2006
Saturday, October 14, 2006
Sebuah kisah di bulan puasa
Dear all,
Sekedar sharing di bulan puasa. Pertengahan minggu ini saya ada kesempatan berkunjung ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Saya tahu banget di sana bermukim salah seorang rekan Fabiona '84, Maulana. Jadi sebelum berangkat saya telepon-teleponan dengan Maul. Mengatur pertemuan di sela-sela kegiatan dinas dengan client.
Kurang dari 30 menit sebelum mendarat di Banjarmasin, harapan saya untuk melihat hijaunya belantara Kalimantan pupus. Di bawah terlihat hamparan tanah terbuka, coklat, kering, tanpa pepohonan. Menyusul kemudian asap yang lumayan menutupi pandangan ke bawah. Dengar-dengar Palangka Raya, Kalimantan Tengah sangat parah kabut asap kebakaran hutannya. Di sini masih lumayan, masih bisa lihat-lihat ke bawah meski agak tidak leluasa.
Begitu mendarat di Syamsuddin Noor Airport, asap tipis menutupi pandangan mata di darat. Airport dengan gaya tradisional itu hiruk-pikuk dan panas. Berharap bisa ketemu grup band Radja (asli Banjarmasin) sebagai hiburan dari rasa gerah, ya cuma harapan saja. Koq airport ini kalah modern dibandingkan airport Palembang, Manado apalagi Padang ya? Padahal sama-sama di ibukota propinsi. Sepanjang jalan ke Banjarmasin Kota, wah koq asapnya lumayan merata ya? Di areal gambut menuju kota kelihatan ada asap kebakaran membumbung ke angkasa. Ada areal yang kelihatan sedang terbakar, ada juga yang sudah menyisakan pohon yang menjadi arang. Kata penjemput saya, kebakaran di lahan gambut itu ada yang terbakar karena faktor alam, tapi ada juga yang sengaja dibakar oleh manusia. Duh......!
Saya sms Maul, tanya "koq asapnya begini, sampai masuk ke Innova gress yang menjemput saya?" Dia balas, "emang lagi asap Djie. Apalagi kalau malam, napas sampai sesak". Jadi ingat tahun 70an, waktu saya masih tinggal di Riau. Saat itu orang belum teriak-teriak kebakaran hutan kayak sekarang. Tapi saya sudah merasakan. Bayangkan, belantara yang terbentuk dari sisa perkebunan karet tak terawat milik Swiss dari zaman Belanda dulu, dibabat, dikeringkan beberapa waktu di bawah sinar matahari, trus dibakar! Puluhan ribu hektar lho yang dibakar. Segala makhluk hidup ngungsi ke kompleks oil company tempat kami tinggal. Harimau, beruang, ular, hiiiiii....... Lainnya ke mana ya? Alhasil beberapa minggu kemudian saya bisa melihat deretan pegunungan Bukit Barisan di kejauhan di barat sana. Sejak lahir sampai saat itu, itulah pertama kali saya melihat pegunungan di Sumatera dari belakang rumah sendiri....! Padahal dari belakang rumah ke sana jaraknya ratusan kilometer. Hebat ya dampak pembakaran hutan itu. Kini puluhan ribu hektar areal itu menjadi kawasan perkebunan kelapa sawit yang haus air. Jelas terlihat dari udara bila kita sedang dalam perjalanan ke Medan. Optimis bisa jadi produsen CPO terbesar di dunia, mengalahkan Malaysia.
Kembali ke Banjarmasin tadi. Untung ruang rapat client saya fully airconditioned. Rapat, presentasi, diskusi. Selesai rapat menjelang buka puasa yang hampir sejam lebih awal dari Jakarta. Akhirnya kami berbuka puasa dengan menu soto Banjar di Depot Yana Yani di tepian sungai Martapura. Enak juga.... Lain dengan soto Banjar di Jakarta yang lebih mirip soto ayam biasa.
Check-in ke hotel, mandi dan nelepon Maulana. Tepat jam 20 dia sudah mengetuk pintu kamar hotel saya. Wah, akhirnya kami ketemu juga. Meski tetanggaan satu kompleks dengan Inong - Maul di Depok, tapi dengan Maul saya sangat jarang ketemu. Teman kita ini sudah jadi pengusaha batubara sejak tahun 2002. Sempat jatuh-bangun, namun kini insya Allah meroket kembali dan siap memasuki pasar ekspor lagi. Kita doain yuk.... Siapa tahu jadi donatur besar di reuni Fabiona 84 yang berikutnya.
Malam itu kami diajak mengelilingi kota Banjarmasin, yang "begitu-begitu" saja. Bukan kota wisata, tapi kota dagang, malah sekarang masyhur sebagai tempat mangkalnya trader dan buyer batubara. Beli oleh-oleh serba ikan di Kaganangan. Akhirnya makan ikan lais goreng dan sayur asem ikan patin. Laisnya gurih. Lagi-lagi ingat masa kecil di Riau, yang makanan khasnya juga serba ikan sungai. Malam itu saya berpisah dengan Maul karena sudah mengantuk, setelah berbagi segala cerita-cerita. Padahal belum sempat ke jembatan Barito. Menurut pengakuan Maul, ini pertama kali dia ketemu dengan teman Fabiona di Banjarmasin. Tentu selain pertemuan dengan Inong "teman" hidupnya hehehe.
Acara saya dengan client masih berlanjut, jadi tidak terlalu merasakan asap kebakaran hutan. Yang saya ingat, kata Maul kalau mau lihat hutan ya di taman nasional di Pegunungan Meratus. Jauh dari Banjarmasin, 200 Km lebih. Sedih ya melihat kenyataan ini. Pulau hijau ini seolah sedang bersiap menjadi padang pasir... Hujan belum datang. Eh si Maul malah bilang, "jangan hujan dulu Djie, sampe batubara gue loading minggu depan". Duh, otak bisnisnya lagi berjalan dengan sempurna, hahaha....
Jalan ke airport sangat padat, karena banyak pedagang makanan buka puasa di pinggir jalan. Buah-buahan yang dominan dijual mangga, timun suri, semangka. Katanya akhir tahun, sekitar November dan Desember, musim durian, cempedak dan langsep (duku lokal). Minumannya es buah (isinya lengkap banget) dan es nyiur (es degan alias kelapa muda, sama dengan di Jakarta). Makanannya duh, banyak banget, dari kue-kue di loyang beberapa warna, bingka, sampai makanan berat yang serba ikan. Kalau saja perjalanan saya bukan di bulan puasa, pasti saya sudah mampir dan makan di situ. Kebiasaan kalau saya sedang pergi ke daerah-daerah.
Jalan ke airport semakin berasap. Macet dan nyaris telat. Seharusnya take-off jam 18:05, tapi sampai buka puasa jam 18:22 masih belum juga boarding. Mau pesan makan takut pesawatnya keburu berangkat. Padahal orang-orang pada makan soto Banjar di kantin, duh sedapnya. Akhirnya oleh-oleh kue bingka saya coel aja sambil minum Mizone. Telat sejam, menjadi pesawat terakhir yang take-off dari Banjarmasin. Wah, alamat makan malam jam 22:00 nih di Depok hehehe.
Dengan Maul saya masih sms-smsan. Dia akan pulang ke Jakarta minggu depan setelah pengapalan batubara yang terakhir sebelum Lebaran. Semoga ketemu dengan lebih baik di saat Lebaran di Jakarta.
Baca berita di koran Kompas hari ini, ternyata kemarin banyak penerbangan ke dan dari Syamsuddin Noor aiport ditunda gara-gara asapnya tebal banget. Untung sudah pulang...
Banjarmasin, part of Kalimantan. Seperti juga pulau-pulau lain di Indonesia. Hijaunya alam telah berubah menjadi tanah merah plus asap kebakaran hutan. (Ada gurauan dengan client di Banjarmasin. Bicara teknologi telekomunikasi dan IT, Banjarmasin bisa menyalip Jakarta lho. Gak percaya? Jika di Jakarta di mall-mall dan cafe-cafe banyak yang akses Internet karena ada hotspot, di Banjarmasin sangat banyak "hotspots" yang sebenarnya. Alias titik-titik panas api kebakaran hutan....hehehe). Namun bila musim hujan tiba, banjir pun datang. Cermin rakusnya manusia. Yang penting bisa jadi kaya, sogok sana sogok sini, alam rusak bukan urusan. Tidak perlu dihijaukan sendiri. Itu urusan negara. Negara pasti ambil alih masalah. Persis dengan bencana lumpur panas Porong. Pengusahanya cuma dicerca, negara yang ngurusin. Indonesia oh Indonesia....
Masih 2 jam lebih waktu buka puasa hari ini. Eh, saya harus kembali menemui client di salah satu hotel di Jakarta. Kantor saya lagi mengadakan rapat perumusan aplikasi sebuah sistem informasi manajemen yang diterapkan di 45 kantor di seluruh Indonesia. Tapi lagi-lagi, SDM menjadi concern. Sama dengan pengelolaan IT, pengelolaan alam Indonesia harus didukung oleh SDM yang care dan concern pada lingkungan. Tapi apa daya, urusan perut lebih prioritas. Gak perlu sekolah tinggi-tinggi, kan tinggal ambil dari alam Indonesia yang sangat kaya.....
Ngabuburit di hotel yuk.
Salam,
Moh. Adjie Hadipriawan
Sekedar sharing di bulan puasa. Pertengahan minggu ini saya ada kesempatan berkunjung ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Saya tahu banget di sana bermukim salah seorang rekan Fabiona '84, Maulana. Jadi sebelum berangkat saya telepon-teleponan dengan Maul. Mengatur pertemuan di sela-sela kegiatan dinas dengan client.
Kurang dari 30 menit sebelum mendarat di Banjarmasin, harapan saya untuk melihat hijaunya belantara Kalimantan pupus. Di bawah terlihat hamparan tanah terbuka, coklat, kering, tanpa pepohonan. Menyusul kemudian asap yang lumayan menutupi pandangan ke bawah. Dengar-dengar Palangka Raya, Kalimantan Tengah sangat parah kabut asap kebakaran hutannya. Di sini masih lumayan, masih bisa lihat-lihat ke bawah meski agak tidak leluasa.
Begitu mendarat di Syamsuddin Noor Airport, asap tipis menutupi pandangan mata di darat. Airport dengan gaya tradisional itu hiruk-pikuk dan panas. Berharap bisa ketemu grup band Radja (asli Banjarmasin) sebagai hiburan dari rasa gerah, ya cuma harapan saja. Koq airport ini kalah modern dibandingkan airport Palembang, Manado apalagi Padang ya? Padahal sama-sama di ibukota propinsi. Sepanjang jalan ke Banjarmasin Kota, wah koq asapnya lumayan merata ya? Di areal gambut menuju kota kelihatan ada asap kebakaran membumbung ke angkasa. Ada areal yang kelihatan sedang terbakar, ada juga yang sudah menyisakan pohon yang menjadi arang. Kata penjemput saya, kebakaran di lahan gambut itu ada yang terbakar karena faktor alam, tapi ada juga yang sengaja dibakar oleh manusia. Duh......!
Saya sms Maul, tanya "koq asapnya begini, sampai masuk ke Innova gress yang menjemput saya?" Dia balas, "emang lagi asap Djie. Apalagi kalau malam, napas sampai sesak". Jadi ingat tahun 70an, waktu saya masih tinggal di Riau. Saat itu orang belum teriak-teriak kebakaran hutan kayak sekarang. Tapi saya sudah merasakan. Bayangkan, belantara yang terbentuk dari sisa perkebunan karet tak terawat milik Swiss dari zaman Belanda dulu, dibabat, dikeringkan beberapa waktu di bawah sinar matahari, trus dibakar! Puluhan ribu hektar lho yang dibakar. Segala makhluk hidup ngungsi ke kompleks oil company tempat kami tinggal. Harimau, beruang, ular, hiiiiii....... Lainnya ke mana ya? Alhasil beberapa minggu kemudian saya bisa melihat deretan pegunungan Bukit Barisan di kejauhan di barat sana. Sejak lahir sampai saat itu, itulah pertama kali saya melihat pegunungan di Sumatera dari belakang rumah sendiri....! Padahal dari belakang rumah ke sana jaraknya ratusan kilometer. Hebat ya dampak pembakaran hutan itu. Kini puluhan ribu hektar areal itu menjadi kawasan perkebunan kelapa sawit yang haus air. Jelas terlihat dari udara bila kita sedang dalam perjalanan ke Medan. Optimis bisa jadi produsen CPO terbesar di dunia, mengalahkan Malaysia.
Kembali ke Banjarmasin tadi. Untung ruang rapat client saya fully airconditioned. Rapat, presentasi, diskusi. Selesai rapat menjelang buka puasa yang hampir sejam lebih awal dari Jakarta. Akhirnya kami berbuka puasa dengan menu soto Banjar di Depot Yana Yani di tepian sungai Martapura. Enak juga.... Lain dengan soto Banjar di Jakarta yang lebih mirip soto ayam biasa.
Check-in ke hotel, mandi dan nelepon Maulana. Tepat jam 20 dia sudah mengetuk pintu kamar hotel saya. Wah, akhirnya kami ketemu juga. Meski tetanggaan satu kompleks dengan Inong - Maul di Depok, tapi dengan Maul saya sangat jarang ketemu. Teman kita ini sudah jadi pengusaha batubara sejak tahun 2002. Sempat jatuh-bangun, namun kini insya Allah meroket kembali dan siap memasuki pasar ekspor lagi. Kita doain yuk.... Siapa tahu jadi donatur besar di reuni Fabiona 84 yang berikutnya.
Malam itu kami diajak mengelilingi kota Banjarmasin, yang "begitu-begitu" saja. Bukan kota wisata, tapi kota dagang, malah sekarang masyhur sebagai tempat mangkalnya trader dan buyer batubara. Beli oleh-oleh serba ikan di Kaganangan. Akhirnya makan ikan lais goreng dan sayur asem ikan patin. Laisnya gurih. Lagi-lagi ingat masa kecil di Riau, yang makanan khasnya juga serba ikan sungai. Malam itu saya berpisah dengan Maul karena sudah mengantuk, setelah berbagi segala cerita-cerita. Padahal belum sempat ke jembatan Barito. Menurut pengakuan Maul, ini pertama kali dia ketemu dengan teman Fabiona di Banjarmasin. Tentu selain pertemuan dengan Inong "teman" hidupnya hehehe.
Acara saya dengan client masih berlanjut, jadi tidak terlalu merasakan asap kebakaran hutan. Yang saya ingat, kata Maul kalau mau lihat hutan ya di taman nasional di Pegunungan Meratus. Jauh dari Banjarmasin, 200 Km lebih. Sedih ya melihat kenyataan ini. Pulau hijau ini seolah sedang bersiap menjadi padang pasir... Hujan belum datang. Eh si Maul malah bilang, "jangan hujan dulu Djie, sampe batubara gue loading minggu depan". Duh, otak bisnisnya lagi berjalan dengan sempurna, hahaha....
Jalan ke airport sangat padat, karena banyak pedagang makanan buka puasa di pinggir jalan. Buah-buahan yang dominan dijual mangga, timun suri, semangka. Katanya akhir tahun, sekitar November dan Desember, musim durian, cempedak dan langsep (duku lokal). Minumannya es buah (isinya lengkap banget) dan es nyiur (es degan alias kelapa muda, sama dengan di Jakarta). Makanannya duh, banyak banget, dari kue-kue di loyang beberapa warna, bingka, sampai makanan berat yang serba ikan. Kalau saja perjalanan saya bukan di bulan puasa, pasti saya sudah mampir dan makan di situ. Kebiasaan kalau saya sedang pergi ke daerah-daerah.
Jalan ke airport semakin berasap. Macet dan nyaris telat. Seharusnya take-off jam 18:05, tapi sampai buka puasa jam 18:22 masih belum juga boarding. Mau pesan makan takut pesawatnya keburu berangkat. Padahal orang-orang pada makan soto Banjar di kantin, duh sedapnya. Akhirnya oleh-oleh kue bingka saya coel aja sambil minum Mizone. Telat sejam, menjadi pesawat terakhir yang take-off dari Banjarmasin. Wah, alamat makan malam jam 22:00 nih di Depok hehehe.
Dengan Maul saya masih sms-smsan. Dia akan pulang ke Jakarta minggu depan setelah pengapalan batubara yang terakhir sebelum Lebaran. Semoga ketemu dengan lebih baik di saat Lebaran di Jakarta.
Baca berita di koran Kompas hari ini, ternyata kemarin banyak penerbangan ke dan dari Syamsuddin Noor aiport ditunda gara-gara asapnya tebal banget. Untung sudah pulang...
Banjarmasin, part of Kalimantan. Seperti juga pulau-pulau lain di Indonesia. Hijaunya alam telah berubah menjadi tanah merah plus asap kebakaran hutan. (Ada gurauan dengan client di Banjarmasin. Bicara teknologi telekomunikasi dan IT, Banjarmasin bisa menyalip Jakarta lho. Gak percaya? Jika di Jakarta di mall-mall dan cafe-cafe banyak yang akses Internet karena ada hotspot, di Banjarmasin sangat banyak "hotspots" yang sebenarnya. Alias titik-titik panas api kebakaran hutan....hehehe). Namun bila musim hujan tiba, banjir pun datang. Cermin rakusnya manusia. Yang penting bisa jadi kaya, sogok sana sogok sini, alam rusak bukan urusan. Tidak perlu dihijaukan sendiri. Itu urusan negara. Negara pasti ambil alih masalah. Persis dengan bencana lumpur panas Porong. Pengusahanya cuma dicerca, negara yang ngurusin. Indonesia oh Indonesia....
Masih 2 jam lebih waktu buka puasa hari ini. Eh, saya harus kembali menemui client di salah satu hotel di Jakarta. Kantor saya lagi mengadakan rapat perumusan aplikasi sebuah sistem informasi manajemen yang diterapkan di 45 kantor di seluruh Indonesia. Tapi lagi-lagi, SDM menjadi concern. Sama dengan pengelolaan IT, pengelolaan alam Indonesia harus didukung oleh SDM yang care dan concern pada lingkungan. Tapi apa daya, urusan perut lebih prioritas. Gak perlu sekolah tinggi-tinggi, kan tinggal ambil dari alam Indonesia yang sangat kaya.....
Ngabuburit di hotel yuk.
Salam,
Moh. Adjie Hadipriawan