Monday, December 17, 2007

Meet Joe Black

Saya tahu ini judul sebuah film yang diputar sekitar tahun 1998 lalu. Bintang-bintangnya cukup ternama. Ada Brad Pitt yang memerankan Joe Black. Ada Anthony Hopkins yang menjadi multimilioner sepuh bidang telekomunikasi William Parrish. Juga ada Claire Forlani pemeran Susan Parrish, puteri bungsu Parrish sepuh yang seorang dokter.

Drama fantasi atau bahkan misteri ini tidak saya tonton pada tahun ia muncul di bioskop-bioskop Indonesia. Padahal akhir tahun 1990an hingga awal 2000an saya dan my lovely wife, Andra, sangat hobby nonton film. Hampir setiap minggu kami nonton film dengan alasan utama untuk menghindari macet saat pulang kantor. Bioskop yang paling sering kami datangi adalah Senayan 21, karena setiap hari kami pulang kantor melalui daerah Senayan. Dan saya punya koleksi sobekan tiket bioskop dengan aneka judul film.

Tiba-tiba film ini diputar di malam Lebaran 1428 H hari kedua di salah satu stasiun TV swasta. Tak ada niat untuk balas dendam karena belum menontonnya. Namun sejak awal film dimulai saya merasa film ini sangat menyentuh karena mirip dengan kejadian yang saya alami dua setengah tahun yang lalu.

Malam itu orang yang kami cintai berkata, “Mas, ada yang datang…..”. Namun pikiran kami tak sampai pada maksud kalimat itu. Pikiran kami teralihkan pada hal-hal lain seputar pemulihan kesehatannya. Kami sangat merasakan penderitaannya malam hingga pagi itu. Perasaan cemas saat meninggalkannya untuk berangkat pagi ke kantor. Apalagi pada saat saya berpamitan, ia mengungkapkan kalimat akhir tentang apa yang ia rasakan saat itu. Sungguh saat-saat yang berat dalam perjalanan hidupnya.

Hanya berselang sekitar satu setengah jam sejak pamitan, telepon selullarku yang berkali-kali berdering memastikan kepergiannya untuk selamanya. Sungguh, detik itu aku tak percaya pada kabar yang kudengar di teleponku. Perjuangannya untuk kembali sehat sangatlah kuat. Namun kuasa Allah SWT telah terjadi padanya. Selamat jalan APN sayang. Kita manusia tidak selalu punya sensitivitas setinggi itu. Lalu kejadian seperti yang dialami William Parrish dalam Meet Joe Black terjadi padanya. Meskipun ia telah mengisyaratkan pada kami, “Mas, ada yang datang…..”.

(Moh. Adjie Hadipriawan, “Mengenangmu 21.06.2005”, Oktober 2007)

Pics : taken from www.imdb.com

Kebiasaan di bulan Ramadhan

Begitu memasuki bulan suci Ramadhan 1428 H, waktu untuk semua kegiatan usaha rasanya menjadi lebih singkat. Banyak perusahaan dan institusi pemerintah melakukan penyesuaian jam kerja. Jam masuk kantor agak lebih siang dan pulangnya sedikit lebih cepat. Maka biasanya jalan-jalan di Jakarta menjadi padat lebih awal, yaitu mulai pukul 16:00. Namun pada saat jam buka puasa (magrib), jalan-jalan menjadi lebih lengang. Pasti karena banyak orang yang sedang membatalkan puasa dulu dan shalat di mesjid-mesjid terdekat. Hal ini rutin terjadi dari tahun ke tahun.

Bagi saya pribadi, penyingkatan jam kerja ini menjadi kurang enak untuk berkegiatan. Rasanya baru saja memulai sesuatu, eh koq sudah harus pulang? Bertahan di kantor sambil menunggu magrib pun rasanya kurang enak. Sendirian jadinya. Yang lain sudah berlomba-lomba pulang cepat. Ya sudahlah, jalani saja. Ikuti arus namun jangan sampai terhanyut arus.

Bicara tentang jam kerja yang singkat, itu jelas terlihat pada saat jam istirahat siang. Para karyawan (umumnya pria) berbondong-bondong menuju mesjid atau mushala. Sama seperti yang saya jalani, kami shalat berjemaah. Apalagi di mesjid-mesjid besar umumnya diselenggarakan ceramah seusai shalat dhuhur. Semua duduk menyimak siraman rohani dengan seksama.

Ini adalah bagian yang paling seru untuk diamati. Kenapa? Sering kali saya melihat, pada saat ceramah banyak jemaah yang mendengar sambil terkantuk-kantuk. Kurang tidur tampaknya karena habis sahur dinihari tadi. Namun apa yang terjadi selanjutnya? Begitu ceramah berakhir, wah, ternyata sebagian besar segera mengambil kapling untuk tidur-tiduran atau tidur beneran!

Umumnya sekarang mesjid-mesjid memasang pengumuman “dilarang tidur di dalam mesjid”. Larangan ini juga diikuti oleh banyak mushala-mushala. Jadilah teras mesjid dan mushala menjadi tempat tidur massal. Kalau diperhatikan, duh, tidurnya bisa sampai satu jam lho. Padahal tidur siang massal ini sangat jarang dilakukan di hari kerja biasa. Sering kali hati ini tertawa sendiri ketika mendengar suara-suara pertanda tidur sangat nyenyak, hahaha.

Kembali ke urusan usaha. Biasanya klien akan menelepon, “Pak, cepetan datangnya ya. Soalnya kita cuma sampai jam 15 nih”. Atau, “Kalau masih lama di jalan, besok pagi saja deh”. Padahal kalaupun ditunda esok hari ya sama saja. Sepagi-paginya datang, mereka datang agak siang. Ya sudah, mau apa lagi?

Jadi ingat bandingannya di sejumlah negara-negara di pantai utara dan timur Mediteranea. Tidur siang adalah hal yang sangat lumrah di Yunani. Juga di sebagian wilayah Italia. Jadi kalo berbisnis dengan tipe masyarakat seperti ini, kita harus matang-matang menghitung waktu. Tapi itu kan di Mediteranea? Lha ini kan cuma terjadi di saat puasa Ramadhan. Oo ia ya, hehehe. Cobalah lihat di bulan-bulan lainnya. Mesjid tetap dikunjungi. Namun keramaiannya tidak seperti bulan puasa. Pedagang, kalaupun ada tidak sebanyak di bulan puasa yang berubah menjadi seperti bazaar. Kenapa? Bangun tidur kan masih ada waktu untuk lihat-lihat barang dagangan. Yang dijajakan umumnya barang-barang yang tampak diperlukan tapi tidak urgent. Belum lagi tawaran untuk dipijat atau urut yang katanya cespleng. Pakai minyak asli inilah, itulah. Pokoknya meriah. Dampaknya? Habis lagi waktu kerja setengah jam.

Jangan marah ya teman-teman membaca tulisan ini. Pasti tidak semua orang berperilaku seperti ini. Kadang kita memang harus bercermin dulu. Ini memang sering kali terjadi di bulan puasa. Paling tidak di kota Jakarta yang setiap hari kita sambangi ini. Semoga masalah produktivitas manusia Indonesia dapat ditingkatkan dari waktu ke waktu. Agar negeri ini mampu bersaing di era millennium. Amien.

(Moh. Adjie Hadipriawan, Oktober 2007)