Tuesday, April 29, 2008

Cinta Brontosaurus

Bagi pecinta buku-buku remaja, judul di atas tentu sudah tidak asing lagi. Buku, tepatnya kumpulan cerita pendek pengalaman pribadi yang kocak karangan Raditya Dika ini sangat fenomenal di kalangan pembacanya. Tentu saja pembaca di segmen remaja. Bahasa yang ditampilkan murni mengalir dari buah pikiran dan pengalaman remaja. Harap dicatat, buku karya Raditya Dika ini bukan yang pertama. Hebatnya, semua sukses dicetak ulang berkali-kali!

Perkenalan saya dengan buku kumpulan cerpen Cinta Brontosaurus sebenarnya tidak sengaja. Pada pertengahan Maret 2008, saya naik bus Trans Jakarta koridor 6 dari Ragunan ke arah Kuningan. Bus yang saya tumpangi belum terlalu penuh. Duduk di seberang saya seorang mahasiswa berpostur kecil sambil membaca buku. Awalnya saya tidak terlalu memperhatikan dia. Namun ketika menjelang halte Mangga Besar saya melihat cowoq itu koq seperti sedang menahan ketawa. Padahal seorang ibu dan seorang ceweq di kiri-kanannya sedang tidak berbicara dengannya.

Ketika pintu bus menutup di halte Mangga Besar, lho koq cowoq itu terpingkal-pingkal sendiri tanpa suara? Jadilah saya memperhatikan tingkahnya karena kebetulan ia duduk tepat di seberang saya. Bukan hanya terpingkal-pingkal tanpa suara (jelas dia menahan tawanya atau bisa dibilang gak waras ketawa sendirian kan?), namun dia juga sampai menutup muka dengan buku yang dibacanya. Pundaknya berguncang-guncang tanda ia sedang tertawa terpingkal-pingkal meski tanpa suara. Bahkan berkali-kali ia sampai menghapus air mata saking gelinya.

Saya berusaha mengintip, ada apa dengan buku yang dibacanya? Koq demikian hebohnya hingga si cowoq berkali-kali tertawa terpingkal-pingkal tanpa suara. Dia bahkan tidak mempedulikan seandainya ada ada orang lain selain saya yang memperhatikannya. Saya yakin ia tidak sempat menyadari bahwa sejak halte Mangga Besar saya memperhatikan tingkahnya.

Sekilas saya berhasil mencuri baca judul buku tipis yang sedang dibacanya. Kalau tidak salah ”Cinta Brontosaurus” dengan warna kecoklat-coklatan plus sebentuk wajah nyaris karikatur berkaca mata. Belakangan hasil curi baca judul saya itu terbukti benar. Ya, judulnya Cinta Brontosaurus.

Sepanjang perjalanan saya jadi geli sendiri melihat si mahasiswa itu. Sudah pasti ceritanya lucu banget. Sampai-sampai sepanjang jalan dia "kewalahan" tertawa terpingkal-pingkal, meski dengan menahan suara agar tidak meledak di tengah-tengah penumpang yang tidak saling kenal. Jadi penasaran. Kejadian itu terus berlangsung hingga saya turun di Kuningan. Setelah itu, lupa deh dengan pengalaman lucu di bus Trans Jakarta.....

Seminggu kemudian, ketika seperti biasa para anak, menantu dan cucu-cucu kumpul di rumah orang tua di Kalibata. Saya terkaget sendiri. Lho, para keponakan saya yang duduk di SMP ternyata sedang membaca buku yang sama. Mereka juga tertawa-tawa seperti si mahasiswa di bus Trans Jakarta. Bedanya, keponakan-keponakan saya ketawanya lepas, alias bersuara hahahaha....

Saya tanya ke salah satu keponakan yang rupanya bergantian membaca buku itu. ”Emang ceritanya lucu ya?”, tanya saya. ”Banget Oom Adjie. Lucu banget!”, jawabnya. Bahkan ternyata ada keponakan saya yang sudah baca lebih dari 20 kali! ”Emang lucu Pakde, sampe 20 kali tetep aja ketawa bacanya”, kata yang lain pada saya. Wah! Saya ceritakan kejadian di bus dan di rumah Kalibata kepada my lovely wife, Andra. Beneran, buku itu lucu.

Akhirnya malam Minggu lalu, salah seorang keponakan dengan suka rela meminjamkan buku kumpulan cerpen Cinta Brontosaurus kepada kami berdua. Hehehe. Menjelang dinihari saya mulai membaca. Ternyata, hahahaha......, emang lucu. Gak rugi membacanya. Bahasanya khas remaja. Jadilah saya dan isteri pembaca novel lucu Raditya Dika juga. Baca yuk! Hahahaha.....


(Moh. Adjie Hadipriawan, Selasa, 29 April 2008, pukul 15:19)

Picture: taken from www.gagasmedia.net

Friday, April 04, 2008

Informal Forum di Rumah Wita

Fabiona Angkatan ’84 memang tidak pernah kehabisan kegiatan. Berawal dari janjian cuti bareng antara Wita dan Okke. Mereka berdua berencana akan kangen-kangenan dengan Fuska dan Ratih di rumah Wita di Bogor hari Selasa 1 April 2008 lalu. Mungkin maksudnya biar tidak dikerjain April Mop oleh pihak-pihak yang suka iseng tahunan sedunia. Tapi ternyata kumpul-kumpul ini berkembang dengan menghadirkan beberapa teman yang lain, misalnya Ningsih, Minah, Ida dan Heni. Tiga yang pertama disebut bermukim di Bogor. Sayang di menit-menit akhir Heni batal hadir karena anaknya sakit demam tinggi. Lain kali hadir ya Hen.

Uniknya, acara kangen-kangenan ini berubah menjadi semacam forum diskusi yang berlangsung hangat dan sangat berarti. Forum diskusi? Ya, benar. Topiknya berawal dari pengalaman keluarga Wita dan Chacha yang beberapa waktu lalu memperkenalkan alternatif pendidikan sekolah rumah (home schooling) kepada anak-anaknya. Ternyata si sulung Aga (kelas 9) sangat antusias dan memutuskan akan melanjurkan tingkat pendidikan selanjutnya di rumah. Keputusan Aga ternyata mengusik hati sang Mama. Wita merasa belum siap dan bingung. Wita bertanya ke sejumlah orang untuk meyakinkan diri apakah ia siap atau sebaliknya belum siap. Pengalaman keluarga Wita ini bermuara pada pertemuannya dengan seorang pegiat dari LSM Keluarga Peduli Pendidikan (KERLIP). Adalah mbak Lovely, seorang pegiat dari KERLIP yang berkenan menjadi fasilitator dari permasalahan ini.

Wita juga berbagi perasaan kepada sesama teman, misalnya kepada Fuska, Okke dan Ratih. Ternyata mereka tertarik untuk tahu lebih lanjut tentang alternatif pendidikan ini (biar pun belum tentu pas dengan keluarga mereka). Wita menangkap peluang kesamaan interest ini untuk digabungkan dalam sebuah pertemuan kangen-kangenan di rumahnya. Good idea!

Jadilah pada hari Selasa tanggal 1 April 2008 lalu mereka hadir ke rumah Wita dengan antusiasme yang sama. Mbak Lovely berperan dalam forum diskusi kekeluargaan ini. Diskusi diawali dengan ‘curhat’ para Ibu mengenai permasalahan pendidikan anak-anaknya. Sungguh melegakan mengetahui bahwa mereka tidak sendirian. Persoalan mereka ternyata juga dihadapi teman-teman yang hadir, tentu dengan bentuk dan porsi yang berbeda. Wita dan juga Fuska, Ratih, Okke, Minah, Ningsih dan Ida merasakan adanya rasa kebersamaan yang kuat yang tumbuh dari situ.

Setelah mendengarkan sambil menanggapi satu per satu, Mbak Lovely mengambil kesimpulan bahwa budaya partiakal yang kuat amat mempengaruhi pola didik dalam keluarga. Perlu diskusi intens dengan suami agar dampak buruk budaya tersebut dapat diminimalkan. Para ayah dan para ibu harus sepakat dalam menentukan nilai terpenting dalam keluarga mereka, lalu berjalan bersama mewujudkan arah pendidikan yang pas dan sesuai dengan nilai yang disepakati tersebut.

Dari diskusi itu juga dipahami bahwa penting bagi ibu dan anak untuk membuat jadwal harian. Ini penting untuk mengajarkan rasa tanggung jawab, kedisiplinan dan konsekuensi dari suatu keputusan (baik benar maupun salah). Pengajaran rasa ini akhirnya memicu dan memacu kemandirian anak. Tidak gampang tentunya. Tapi rasanya sangat patut untuk dicoba.

Forum ini sangat berharga bagi para orang tua. Mereka yang bergiat aktif di dalam forum ini perlu diangkatkan topi karena berani bercermin pada diri sendiri untuk menemukan arah kehidupan keluarga yang lebih berkualitas. Selamat teman-temanku. Semoga sukses menularkan ide-ide dan pemahaman yang berkualitas kepada teman-teman yang lain. Apalagi mereka sangat berhasrat menjadikan diskusi seperti ini berlanjut secara teratur.

Khusus untuk Wita dan juga Chacha, terima kasih sudah berkenan berbagi informasi adanya temu kangen dan diskusi cemerlang ini.

(Moh. Adjie Hadipriawan, sebagaimana dilaporkan oleh Wita, Jum’at 4 April 2008)

Photo: Berry's collection 2007