Monday, April 30, 2007

(Bukan) Matador Cikepuh 1988

Waktu itu sedang berlangsung SPL (Studi Pengenalan Lapangan) tahun 1988 untuk Angkatan 1987 di Suaka Margasatwa Cikepuh, Sukabumi Selatan. Saya mendapat kesempatan menjadi Pembimbing bagi Bidang Studi Planktonologi (anggotanya Cahyo, Lili, Asep, Rostiwati dan lain-lain). Asisten Pembimbing saat itu Amel dan Bugi Kabul (Bio '85).

Entah di hari ke berapa, Teguh Hartono, meminta saya dan Eni (Nuraeni Lubis) untuk ikut rapat dengan Kepala Desa. Kalau tidak salah untuk mendiskusikan pelbagai upaya meningkatkan peran serta masyarakat desa terhadap kepedulian lingkungan. Sebenarnya di Desa sudah ada rekan-rekan dari Bidang Studi Ekologi Pedesaan. Tapi sebagai representasi lembaga mahasiswa (saya Ketua BPM 1987-1988 dan Eni Sekretaris SEMA 1987-1988), kami harus hadir.

Tentu semua sudah maklum. Basecamp terletak di padang rumput di tepian sungai Cipanarikan dan tepat di sisi luar hutan Suaka Margasatwa. Jadilah pagi itu saya dan Eni berjalan kaki menuju Cijaringao. Karena hanya tugas sesaat, kami hanya membawa ransel kecil.

Perjalanan diawali dengan hari yang cerah. Belum terlalu panas karena kami berangkat jam 08 pagi. Naik-turun bukit di padang rumput yang diselang-selingi tanaman perkebunan kelapa. Banyak yang kami obrolkan. Hingga tanpa terasa kami melalui sekelompok sapi-sapi yang pemeliharaannya dibiarkan bebas di padang rumput oleh pemiliknya.

Sudah beberapa tahun ini setiap ke Cikepuh saya melihat atau bertemu dengan kawanan sapi tersebut. Kesannya sapi-sapi itu dibiarkan "meliar". Bagus juga. Pemilik tidak perlu susah-susah membuat kandang dan menyabit rumput untuk pakan sapi.

Tiba-tiba langkah kami sedikit tertahan. Seekor sapi jantan yang paling besar rasanya "sengaja" memisahkan diri dari kelompoknya. Waspada juga. Apalagi sapi jantan itu menggerak-gerakkan kedua kaki depannya dengan posisi kepala bertanduk agak menunduk. Lho apa itu gerakan "ancang-ancang" untuk menyeruduk? Posisi sapi hanya beberapa belas meter dari kami berdua, sehingga kami mendengar dengan jelas deruan napas si jantan. Tampaknya sapi itu sudah sangat emosi.

Saya berbisik ke Eni, "En, kalo sapi itu ngejar kita, kita larinya berpencar! Kamu ke kanan, aku ke kiri, langsung ke desa". Benar saja, begitu kalimat selesai saya bisikkan sapi itu mulai berlari ke arah kami. Masih sempat terpikir, "wah, ransel saya warna merah menyala pula...!".

Sangat menegangkan! Kami berlari sangat kencang, berpencar, sekitar 50 meter dari posisi semula. Sambil sekali-sekali melihat ke belakang. Ternyata sapi bermata merah (mungkin karena marah) itu berhenti mengejar. Tampaknya si sapi bingung harus mengejar yang mana. Alhamdulillah.

Lima puluh meter itu serasa ratusan meter. Lari tidak beraturan, napas ngos-ngosan, menuruni bukit. Coba teman-teman bayangkan rasanya dikejar "banteng" liar, jantan, bertanduk, dengan endusan napas yang sangat jelas tepat di belakang kita! Saat itu saya sudah siap dan rela melepas ransel merah kesayangan untuk mengalihkan perhatian si jantan.

Segera kami berdua bergabung lagi. Masih waspada, takut si jantan mengejar lagi. Gemetaran. Saling bantu untuk bisa jalan sempurna. Seperti matador yang baru belajar dikejar banteng liar saja. Di kejauhan tampak seorang anak kecil penggembala memandang ke arah kami. Sepertinya dia menyuarakan sesuatu ke arah si sapi jantan. Tangannya melambai ke arah kawanan sapi. Apa anak itu yang menghentikan kejaran si sapi? Tidak peduli lagilah. Yang penting saya dan Eni selamat, dan segera berlalu ke arah desa Cijaringao.

(Moh. Adjie Hadipriawan, Senin, 30 April 2007 jam 11:15 WIB).


***** Jadi ingat Musyawarah Mahasiswa Fakultas Biologi Universitas Nasional (Musma Fabiona) bulan November 1987. Saat itu tanpa ada skenario khusus, terpilih The Big Five dari Fabiona Angkatan 84. Mereka adalah: Moh. Adjie Hadipriawan (Ketua BPM) dan Budi Iraningrum (Sekretaris BPM); serta Teguh Hartono (Ketua SEMA), Ediwan (Wakil Ketua SEMA) dan Nuraeni Lubis (Sekretaris SEMA), yang terpilih untuk periode tahun 1987-1988. Karena kebetulan satu angkatan, koordinasi antar pimpinan kedua lembaga mahasiswa itu berlangsung sangat baik. Peristiwa "sapu bersih tidak sengaja" ini terukir indah dalam catatan sejarah perjalanan Fabiona Angkatan 1984. *****


Photos: taken from index.hu & id.wikipedia.org (http://images.google.co.id)

Wednesday, April 18, 2007

Kereta Api Jabodetabek

Pertama kali naik moda angkutan ini pada saat ikut praktikum Sistematika Tumbuhan tingkat Tinggi (STT) tiap Sabtu pagi di Kebon Raya Bogor (KRB) di pertengahan tahun 1980an. Meski tinggal di Kalibata, saya biasa naik KA dari stasiun Pasar Minggu, bukan stasiun Kalibata. Senang saja, karena stasiun Pasar Minggu terbilang ramai. Di kiri-kanan pintu masuknya ada dua ibu-ibu jualan ketupat sayur. Menu dan asesorisnya sama persis, tapi yang paling ramai dikunjungi ibu yang di kanan pintu. Jadi lumayan, sambil nunggu teman-teman yang akan berangkat bareng ke Bogor juga bisa sekalian sarapan ketupat sayur.

Saat itu KA ini tempat duduknya sebagian masih berhadap-hadapan lengkap dengan meja kecil, seperti KA ekonomi jarak jauh. Pintunya pun masih bisa buka-tutup secara otomatis. Namun saat itu mulai ada sejumlah penumpang yang mengganjal pintu dengan kerikil. Jadi pintu tetap terbuka dan mereka dengan santainya duduk menghadap keluar gerbong. Biar isis, dapat ACC (Angin Cuma-Cuma)....

Isi gerbong tidak jauh berbeda dengan sekarang. Ya penumpang, keranjang buah-buahan, ayam, dagangan, sepeda, tumplek jadi satu. Yang ngemplang tiket alias gak bayar juga banyak. Bedanya dengan sekarang, per 1 April 2007, sudah dilakukan penertiban oleh petugas-petugas berbaju safari gelap, saat masuk dan keluar area penumpang. Kondekturnya pun lebih "mengejar" saat memeriksa tiket. Syukurlah. Dulu hingga Maret 2007, penumpang nakal cukup bilang "abu (abonemen)" tanpa menunjukkan tiket abo, atau menyelipkan uang seribu perak, atau pura-pura tidur, atau menertawakan kondektur rame-rame, atau nekat pindah-pindah posisi berdiri bahkan pindah gerbong demi menghindari kondektur. Pengawasan penumpang dan tiket yang lebih ketat ini sebagai konsekuensi diterapkannya UU Perkeretaapian. Kelak swasta boleh masuk bisnis KA yang mendorong iklim usaha lebih kompetitif karena meniadakan monopoli.

Kabarnya penertiban ini menghasilkan beberapa hal positif. Pertama, diketahui ada sekitar 26.000 penumpang tidak membayar tiket setiap harinya. Kedua, dengan adanya penertiban tiket, pendapatan PT. Kereta Api di Jabodetabek meningkat sekitar 14%. Ketiga, penumpang mau tidak mau harus membeli tiket, dan pada saat keluar dari stasiun harus menyerahkan tiketnya ke petugas. Semoga penertiban ini berlangsung secara konsisten demi terwujudnya perbaikan.

Hingga kini saya masih suka menumpang KA untuk beberapa alasan. Di musim hujan, guna menghindari banjir dan macet saya lebih senang berangkat dari stasiun Depok Baru naik KA Depok Express, turun di Gambir atau Gondangdia. Nyaman, berpenyejuk udara, tidak padat, non-stop dan cuma 25 - 30 menit sudah sampai Jakarta. Bandingkan kalau nyetir mobil sendiri, termasuk antar my lovely wife Andra ke kantornya, bisa 2 - 2.5 jam!

Pulangnya kalau lagi tidak bawa mobil, saya naik KRL ekonomi dari stasiun Manggarai. Di Manggarai ada sejumlah "kereta balik" yang memberi peluang besar untuk dapat tempat duduk. Manggarai ke Depok cuma 30 menit. Kalaupun tidak kebagian duduk, berhimpit-himpitan dan keringatan tidak masalah. Kan ini rute pulang. Sampai rumah langsung mandi dan cuci baju. Yang penting kesegaran tubuh, aroma tubuh dan kerapihan busana saat berangkat kerja harus terjaga.

Uniknya di perjalanan dari Manggarai ke Depok ini kadang saya ketemu dengan alumni Fabiona. Ada yang saya kenal baik orangnya, tapi ada juga yang cuma saya tahu orangnya tapi lupa namanya (sorry). Bisa disebut beberapa di antaranya, Joseph (Bio '84) atau Aphing (Bio '83). Jadi seperti waktu masih kuliah saja.

Kadang untuk ke rumah orang tua di Kalibata hari Sabtu, kesiangan sedikit saja jalan-jalan mulai dari Margonda Raya, Lenteng Agung dan Pasar Minggu padat merayap. Kalau sudah begitu saya putuskan untuk naik KRL ke stasiun Pasar Minggu Baru. Stasiun yang dibuat tahun 1996 ini berada tepat di depan kompleks rumah kami di Kalibata Indah. Hanya butuh waktu 15-20 menit dan jalan kaki ke rumah. Praktis kan?

Saya dan isteri senang jalan-jalan ke kawasan Kota dan Mangga Dua. Tidak harus belanja, tapi berkunjung ke museum-museum di "Oud Batavia", makan di cafe-cafe di kawasan tua itu, atau sekedar cari "inspirasi" di Mangga Dua. Di foodcourt Mangga Dua Mall kami punya langganan lontong sayur Medan yang rasanya dahsyat (hehehe). Pemiliknya (saya panggil Oom) kaget begitu tahu kami dari Depok. "Jauh banget? Ke cabang di Auto Mall Semanggi aja". Dia tidak tahu, kami jauh-jauh datang cukup naik KA kurang dari satu jam. Bawa mobil? No way! Macet dan sulit parkir.

Begitulah, meski sudah lulus kuliah belasan tahun yang lalu, ternyata saya masih tetap menikmati perjalanan naik KA / KRL Jabodetabek. Seringkali di tengah kemacetan lalu-lintas saya bertanya-tanya dalam hati. Kapan ya Jakarta punya moda transportasi massal yang efisien? Pasti ini juga pertanyaan jutaan orang Jakarta lainnya. Jakarta koq jauh tertinggal ya dari kota-kota negara tetangga, sesama Asia pula! Bayangkan MRT di Singapore, Monorail di KL, Skytrain dan subway di Bangkok, MTR di Hongkong atau KA di Tokyo. Berapa banyak penumpang yang bisa diangkut setiap jamnya dengan kenyamanan yang baik? Rencana subway Jakarta dari zaman pak Harto sampai sekarang belum berwujud. Triple decker? Monorail baru menyisakan pondasi-pondasi beton. Susah ya membangun infrastruktur di Jakarta (apalagi di bagian lain di Indonesia)? Ya sudahlah. Nikmati aja dulu KA / KRL Jabodetabek. Paling tidak moda transportasi ini bisa jadi dewa penyelamat saya di kala menghindari macet dan banjir.

(Moh. Adjie Hadipriawan, Kamis, 19 April 2007, 17:20 WIB)

Photo: taken from BUMN Online

Monday, April 02, 2007

Kelapa Gading

Kemarin saya menulis di blog ini tentang lokasi wisata kuliner favorit saya dan isteri saya, Andra di Kelapa Gading. Kenapa Kelapa Gading? Dilihat dari lokasinya, Kelapa Gading cukup jauh dari tempat tinggal kami berdua di selatan Jakarta. Tempat di Jakarta Utara yang pada pertengahan Februari 2007 lalu dilanda banjir besar ini memang sangat menarik untuk ditelusuri obyek-obyek makanannya. Saya pertama kali jatuh cinta dengan lokasi ini sekitar tahun 1998 atau 1999. Waktu itu karena tuntutan tugas kantor, saya sering melewati Kelapa Gading.

Setelah berulang kali ke Kelapa Gading untuk memburu makanan, saya jadi punya pola atau "rute kuliner" sendiri. Kali ini saya mau berbagi pengalaman di salah satu tempat makan. Berikutnya akan saya ceritakan dalam tulisan-tulisan terpisah tempat makan atau jajan lainnya di Kelapa Gading.

Saya biasa ke Kelapa Gading dari arah Pulomas menyeberang ke Boulevard Raya. Yang pertama sering saya hampiri di sisi kiri jalan adalah Sop Konro Karebosi. Sebelum krismon, ada lebih dari 1 outlet mengusung nama Karebosi di jalan ini dalam jarak yang berdekatan. Pemiliknya sama. Kini hanya ada 1 outlet yang terbesar. Menemukan rumah makan khas Makassar ini sangat gampang karena biasanya parkirannya agak padat saking banyaknya orang yang makan di sana. Di trotoar tampak kepulan asap dari panggangan. Tempatnya terbuka alias tanpa AC. Untuk mengusir udara panas disediakan sejumlah kipas angin di atas meja-meja makan. Menunya menyediakan Sop Konro, Sop Saudara, Ikan Bandeng Bakar, Sate Sapi dan Nasi Campur. Juga tersedia es Palubuttung dan es Pisang Ijo. Kalau tidak salah ingat, setelah krismon disediakan bentuk inovasi Sop Konro, yaitu Konro Bakar. Sejak menu terakhir ini keluar, saya lebih sering pesan Sop Konro Bakar.

Tidak terlalu lama untuk menunggu datangnya pesanan. Kalau sudah terlalu lapar, bisa diganjal dulu dengan aneka kue-kue khas Sulawesi yang disediakan di piring, misalnya Panada. Biasanya sepiring nasi putih hangat yang duluan datang. Lalu minuman pesanan kita. Berikutnya datanglah Konro Bakar dan kuahnya di mangkuk terpisah. Konronya terdiri dari 2 atau 3 potong iga sapi yang dipanggang dan dibumbu kacang. Soal ukuran jangan tanya. Dijamin kenyang dengan 2 atau 3 potong iga itu...! Kuahnya agak gelap mirip kuah rawon. Tambahkan perasan jeruk nipis dan sambal secukupnya. Tanpa sambalpun sebenarnya sudah cukup pedas. Jadi hati-hati kalau mau pakai sambal. Begitu kuah diseruput, waauuuuw, rempahnya mantap, segar, pedas dan panas jadi satu. Begitu dagingnya disobek dari potongan iga, aduuuuhhh....., empuk sekali. Sebenarnya iga bakar ini berasal dari bahan yang sama dengan Sop Konro biasa. Artinya sudah dimasak di dalam panci-panci raksasa. Tapi kalau kita pesan yang bakar, maka iga dari panci itu akan dibakar terlebih dahulu dan disiram kuah kacang.

Kadang kala saya lihat ada orang yang makan iga seporsi berdua. Sah-sah aja. Karena memang ukurannya cukup besar untuk dimakan sendirian. Makan sop Konro, tentu saya sadar dengan segala konsekuensi yang ditimbulkan selama dan sesudah memakannya. Yang jelas, mulut kita akan menikmati sop Konro yang benar-benar empuk dan lezat. Jangan malu untuk memegang tulang iganya dengan tangan. Begitulah cara makan iga. Nikmat.....! Bahwa kandungan lemak atau bahkan kolesterol akan menumpuk di dalam tubuh kita, itu kan manajemen olah tubuh. Nikmati aja dulu, man. Apalagi ramuannya konon mengandung rempah-rempah yang meminimalkan lemak dan kolesterol selama proses memasaknya. Yang penting anutlah pola hidup seimbang. Cukupkan dengan olah raga yang rutin. Insya Allah apapun yang kita makan akan berfaedah untuk tubuh kita. Setuju dong?

Udara di rumah makan ini memang panas. Tapi jangan khawatir. Sebagai penutup yang dingin-dingin pesanlah es Palubuttung atau es Pisang Ijo. Keduanya sama-sama segar. Es Palubuttung berisi irisan pisang (kepok?) ditaburi es serut dan diberi sirop merah. Es Pisang Ijo terdiri dari pisang hijau yang dibungkus dengan "baju" berwarna hijau jadi menyerupai pisang hijau utuh. Diberi sejenis bubur putih dari beras, kuah santan, ditaburi es serut dan ditambahi sirop. Benar-benar penutup dingin yang segar. Namun bertahun-tahun belakangan ini saya sudah tidak sanggup lagi makan seporsi Konro Bakar dan es pisang ijo. Terlalu mengenyangkan. Jadilah saya hanya minum minuman ringan dingin, seperti teh botol. Tentu kedua cara itu tidak mengurangi rasa nikmat makan Sop Konro Karebosi in its original taste.

Karebosi diambil dari nama sebuah lapangan yang luas di Kota Makassar. Di kompleks olah raga itu ada banyak orang menjual Sop Konro. Jadilah namanya Sop Konro Karebosi. Kita yang di Jakarta tidak perlu jauh-jauh ke Makassar untuk makan sop ini. Cukup ke Kelapa Gading. Di Jakarta pun ada beberapa pilihan sop Konro. Ada yang memakai merk "Marannu" di Kelapa Gading. Ada juga yang tersohor di Casablanca, "Daeng Tata" dengan produk andalannya "Tata rib's". Marannu berkuah agak merah dengan rasa pedas. Di Daeng Tata, sudah mengalami modifikasi sesuai dengan tuntutan lidah orang Jakarta. Semuanya berpulang kepada selera masing-masing. Saya sendiri masih setia pada rasa original Sop Konro Karebosi. Makanya saya rela jauh-jauh ke Jakarta Utara untuk makan sop ini. Nyam nyam nyam.

(Moh. Adjie Hadipriawan, Selasa, 3 April 2007, 14:45)

Sunday, April 01, 2007

Mimpi

Minggu shubuh, 1 April 2007, saya terbangun dari tidur. Yang segera terpikir dalam benak saya adalah janji saya untuk ajak my lovely wife Andra makan siang di Kelapa Gading. Itu lokasi favorit kami untuk berwisata kuliner at anytime. Boleh untuk sarapan, brunch, makan siang, cari cemilan sore atau makan malam.

Tapi tiba-tiba saya merasa seperti baru saja "terdampar kembali" dari wilayah lain. Seperti baru bepergian. Setelah diingat-ingat, "ah, ternyata gue cuma abis mimpi". Tapi kali ini mimpinya agak menarik. Ceritanya saya, Andra dan sejumlah saudara sedang bepergian di "entah di mana", dalam bus AC besar ke suatu sudut kota dengan bangunan-bangunan bertingkat yang tidak terlalu rapi. Orang-orang di situ berwajah Indonesia dan bule. Saya masuk ke sebuah bangunan yang sedang ada pertemuan sejumlah tokoh-tokoh Indonesia dan Amerika. Karena tidak jelas apa yang sedang berlangsung, saya keluar bangunan dan ngobrol dengan sejumlah bule di trotoar. Ternyata mereka bule-bule dari Kedubes Amerika.

Lagi asyik-asyik nongkrong dan ngobrol, tiba-tiba muncul Presiden George W. Bush, nimbrung. Dengan santainya, beliau rebahan menyamping di antara 2 bule dan saya, tepatnya di pangkuan kami bertiga (seperti posisi reclining Buddha) yang lagi duduk-duduk. Bagian kaki ke bawah ada di pangkuan saya dan ikut ngobrol santai. Lho, ini kan Presiden Amerika? Koq ya mau-maunya rebahan ngobrol santai sama kami (khususnya saya)? Di trotoar pula! Mengenang mimpi barusan saya hanya senyum-senyum, karena tahu ini cuma mimpi. Tapi koq Presiden Bush sih? Apa maksudnya ya? Apa perlu nanya ke ahli baca mimpi? Hahaha....

Jadi ingat di awal 2000an, waktu Wakil Presiden kita masih Megawati. Saya mimpi ketemu wapres Megawati dan suaminya Taufik Kiemas. Saya ada di suatu ruangan kantor biasa, ngobrol dengan bu Mega dan pak Taufik. Bu Mega dengan santainya duduk di atas salah satu meja kantor, berbicara berhadapan dengan saya. "Apa ya makna mimpi saya?", tanya saya waktu itu dalam hati. Lucu aja. Terus ceritain deh ke isteri. Eh, koq isteri saya ketawa, "hahahaha......". Lho, kenapa? Sambil masih ketawa Andra bilang, "lho semalam aku mimpi kita ketemu dan diundang Gus Dur (Presiden Abdurrahman Wahid saat itu) ke istana Merdeka....?!". Hahahahaha........ Mimpi, mimpi. Akhirnya, mimpi-mimpi itu memang tidak ada pengaruh apa-apa terhadap hidup kami. Tapi, kembali ke mimpi ketemu Presiden Bush, kira-kira ada apa ya? Hahahahahaha..... Daripada penasaran mikirin mimpi Presiden Bush, mendingan siap-siap ah. Ntar mau makan siang di Kelapa Gading....

Moh. Adjie Hadipriawan (Senin, 2 April 2007 jam 11:35)

Photo: taken from Wikipedia - The Free Encyclopedia