SARUNG
Sarung adalah salah satu unsur pelengkap sandang. Di Indonesia, sarung digunakan baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam upacara-upacara adat. Hampir semua suku bangsa yang ada di negara ini mengenal sarung. Bagi sebagian kalangan muslim Indonesia, sarung menjadi pelengkap kegiatan ibadah. Sarung juga dipakai oleh sebagian petugas siskamling. Pria dan wanita menggunakan sarung untuk beragam keperluan. Bahkan bayi yang baru lahirpun sudah akrab dengan sarung.
Sarung diproduksi di banyak tempat di seluruh Indonesia. Beberapa produsen skala industri yang saya ketahui di antaranya di Bandung selatan, Pekalongan, Samarinda, Jawa Timur dan lain-lain. Sarung juga diproduksi secara tradisional di Sumba, Pelembang dan lain-lain. Budaya bersarung juga sangat meluas di Semenanjung Melayu, Thailand, Myanmar dan Anak Benua India. Sarung ada di mana-mana.
Meski Eyang Kakung saya sering bersarung (demikian juga Papie saya yang kadang bersarung saat tidur), namun saya hanya menggunakan sarung pada saat shalat di rumah. Saya tidak menggunakan untuk tidur. Bahkan saat mengikuti ekspedisi-ekspedisi saya tidak tergerak untuk mengikuti teman-teman Fabiona yang sering memakai sarung menyilang di pundak menutupi tubuhnya. Mendaki gunungpun saya tidak membawa sarung seperti kebiasaan almarhum Budi yang menjadikan sarung sebagai perlengkapan standarnya.
Tahun terakhir kuliah, sebagian dari kita sibuk menyusun skripsi. Kita mengerjakannya berkelompok agar bisa saling sharing dan diskusi. Sejumlah teman-teman (baik yang sedang maupun belum menyusun skripsi) berkali-kali kumpul dan menginap di rumah saya di kawasan Kalibata. Kebetulan orang tua saya lagi senang-senangnya menginap di rumah dua kakak saya di Bandung selama berbulan-bulan. Jadi tak ada masalah bagi teman-teman yang menginap.
Kadang kami mengisi waktu sambil masak bersama, atau nonton video Betamax Max Havelaar (Saijah dan Adinda). Ada Teguh, Aril, Budi, Boogie, Ali Akbar, Yuniza, Fachruddin, Inong, Eni, Ira, Pia, Nizma dan lain-lain. Kebetulan Inong punya saudara yang tetangga satu kompleks dengan saya. Jadi seusai mengerjakan skripsi di rumah saya, para peserta puteri menginap di rumah saudara Inong.
Jumat siang di tahun 1990 itu, hanya tersisa saya dan Boogie di rumah. Kami akan berangkat Jumatan ke mesjid di samping kompleks. Tiba-tiba muncul ide untuk shalat Jumat dengan bersarung. Jujur, ini belum pernah saya lakukan sebelumnya. Dengan ketawa-ketawa geli, kami berdua memakai sarung. Ternyata ketawa itu menjadi-jadi. Kenapa? Karena saya takut sarung itu melorot saat berjalan dan selama di mesjid. Gak PD deh! Tapi saya sangat ingin mencoba bersarung ke mesjid.
Langkah kami berkali-kali tertunda karena tawa. Di depan pintulah, di teraslah, di depan pagar rumahlah. Sampai akhirnya kami tetapkan untuk terus berjalan. Menjelang gerbang kompleks terdengar suara adzan. Kembali kami tertawa terpingkal-pingkal melihat diri sendiri bersarung. Masih gak PD. Akhirnya berdua kami kembali ke rumah. Bukan ganti pakai celana panjang. Tapi memakai ikat pinggang di balik lipatan sarung. Ya ampun. Demi (perasaan) sarung tidak melorot, kami rela sampai di mesjid saat jamaah Jumat mulai shalat. Gara-gara takut sarung melorot sih. Dan itulah pengalaman saya satu-satunya shalat bersarung di mesjid. Takut melorot, euy! Hahahaha.
Sarung diproduksi di banyak tempat di seluruh Indonesia. Beberapa produsen skala industri yang saya ketahui di antaranya di Bandung selatan, Pekalongan, Samarinda, Jawa Timur dan lain-lain. Sarung juga diproduksi secara tradisional di Sumba, Pelembang dan lain-lain. Budaya bersarung juga sangat meluas di Semenanjung Melayu, Thailand, Myanmar dan Anak Benua India. Sarung ada di mana-mana.
Meski Eyang Kakung saya sering bersarung (demikian juga Papie saya yang kadang bersarung saat tidur), namun saya hanya menggunakan sarung pada saat shalat di rumah. Saya tidak menggunakan untuk tidur. Bahkan saat mengikuti ekspedisi-ekspedisi saya tidak tergerak untuk mengikuti teman-teman Fabiona yang sering memakai sarung menyilang di pundak menutupi tubuhnya. Mendaki gunungpun saya tidak membawa sarung seperti kebiasaan almarhum Budi yang menjadikan sarung sebagai perlengkapan standarnya.
Tahun terakhir kuliah, sebagian dari kita sibuk menyusun skripsi. Kita mengerjakannya berkelompok agar bisa saling sharing dan diskusi. Sejumlah teman-teman (baik yang sedang maupun belum menyusun skripsi) berkali-kali kumpul dan menginap di rumah saya di kawasan Kalibata. Kebetulan orang tua saya lagi senang-senangnya menginap di rumah dua kakak saya di Bandung selama berbulan-bulan. Jadi tak ada masalah bagi teman-teman yang menginap.
Kadang kami mengisi waktu sambil masak bersama, atau nonton video Betamax Max Havelaar (Saijah dan Adinda). Ada Teguh, Aril, Budi, Boogie, Ali Akbar, Yuniza, Fachruddin, Inong, Eni, Ira, Pia, Nizma dan lain-lain. Kebetulan Inong punya saudara yang tetangga satu kompleks dengan saya. Jadi seusai mengerjakan skripsi di rumah saya, para peserta puteri menginap di rumah saudara Inong.
Jumat siang di tahun 1990 itu, hanya tersisa saya dan Boogie di rumah. Kami akan berangkat Jumatan ke mesjid di samping kompleks. Tiba-tiba muncul ide untuk shalat Jumat dengan bersarung. Jujur, ini belum pernah saya lakukan sebelumnya. Dengan ketawa-ketawa geli, kami berdua memakai sarung. Ternyata ketawa itu menjadi-jadi. Kenapa? Karena saya takut sarung itu melorot saat berjalan dan selama di mesjid. Gak PD deh! Tapi saya sangat ingin mencoba bersarung ke mesjid.
Langkah kami berkali-kali tertunda karena tawa. Di depan pintulah, di teraslah, di depan pagar rumahlah. Sampai akhirnya kami tetapkan untuk terus berjalan. Menjelang gerbang kompleks terdengar suara adzan. Kembali kami tertawa terpingkal-pingkal melihat diri sendiri bersarung. Masih gak PD. Akhirnya berdua kami kembali ke rumah. Bukan ganti pakai celana panjang. Tapi memakai ikat pinggang di balik lipatan sarung. Ya ampun. Demi (perasaan) sarung tidak melorot, kami rela sampai di mesjid saat jamaah Jumat mulai shalat. Gara-gara takut sarung melorot sih. Dan itulah pengalaman saya satu-satunya shalat bersarung di mesjid. Takut melorot, euy! Hahahaha.
(Moh. Adjie Hadipriawan, Jumat, 30 Mei 2008, pukul 11:22 WIB)